WALI kelas I SDLB N PTN Denpasar, Yustina, sabar membimbing 9 siswanya yang mengalami gangguan pendengaran dan bicara. Meski sulit, ibu dua anak ini seakan terpanggil mengabdi menjadi guru bantu di sekolah khusus tuna rungu ini.
Suasana kelas yang ramai karena suara siswa yang sedang belajar menirukan Yustina berbicara membuat proses belajar-mengajar terlihat hidup. ”Kami tekankan agar selama proses belajar-mengajar lebih menggunakan sistem oral dibanding isyarat.
Hal ini bertujuan melatih dan merangsang siswa untuk bisa berbicara meski belum terdengar jelas,” ujar kepala Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Pembina Tingkat Nasional (SLB B N PTN) Bali Dra. Made Murdani, M.Pd.
Yustina mengaku, tak mudah mengajarkan anak didik yang mengalami gangguan pendengaran. Tetapi wanita berkulit sawo matang ini tak pantang menyerah. Ia tak pernah berhenti memacu dan mengajak anak didiknya belajar berbicara baik lewat proses belajar-mengajar sehari-hari atau melalui matari bina wicara.
”Meski tak jelas suaranya, asal gerak bibir atau mimik mereka berbicara sudah benar, itu saya anggap anak telah mengalami kemajuan,” ujarnya. Yustina mengaku mengedepankan pelatihan berbicara mampu mendukung siswa agar bisa berkomunikasi saat berhubungan dengan masyarakat luar.
Siswa kelas satu yang usianya rata-rata sudah mencapai 10 tahun atau lebih tua dari usia anak kelas satu di SD umum ini masih diajarkan materi membaca, menulis dan berhitung. Untuk mempermudah, Yustina menggunakan gambar sebagai alat peraga saat menerangkan.
”Siswa tahu nama benda, tetapi terkadang tak bisa menyebutkan huruf apa saja yang merangkai kata pada benda tersebut. Selain gambar, kami juga ajak siswa mengenal huruf meski terkadang dalam menyebutkannya masih menggunakan isyarat tangan,” ungkap wanita asal Jogjakarta ini.
Alat peraga di SLB B N PTN Bali terlihat berbeda dibanding sekolah umum. Masing-masing ruang kelas dilengkapi dengan sebuah cermin. ”Cermin memudahkan guru memberikan materi bina wicara,” ujarnya. Tak hanya itu, ruang kelas TK dan SD juga dilengkapi dengan hearing group.
”Tapi kini telah rusak karena ulah jahil anak-anak,” ujar Murdani. Padahal menurutnya dengan hearing group bisa mempermudah dan merangsang siswa belajar berbicara.
Kendala yang dialami dalam PBM menurut Yustina tak hanya karena siswa-siswinya mengalami kekurangan di pendengaran dan wicara.
Namun juga tak adanya buku penunjang khusus anak-anak tuna rungu. ”Selama ini karena tak ada buku penunjang, kami gunakan buku sekolah umum yang lebih sulit penerapannya,” ujarnya.
Proses penerimaan siswa baru di SLB N dilakukan dengan cara mengetes pendengaran anak dengan menggunakan alat audimeter. ”Dulu kami masih menggunakan alat manual berupa bunyi-bunyian, tetapi kini sudah ada alat yang lebih canggih,” ujarnya. Tahap ini, lajut Murdani berfungsi untuk mengetahui frekuensi sisa pendengaran siswanya.
Karena hal itu berpengaruh terhadap proses belajar-mengajar yang akan mereka tempuh. ”Tempat duduk di jenjang TK dan SD kami buat menyerupai bentuk U. Posisi duduk tergantung dari tes yang telah dilakukan. Jika telinga kanan masih ada sisa pendengaran kami posisikan anak duduk di sebelah kiri,” ujar Murdani.
Cara mengajar di sekolah khusus tuna rungu ini lebih diutamakan pembelajaran secara individu. Artinya, tambah Yustina, bagi siswa yang telah menguasai materi pembelajaran akan diberikan tugas, berbeda dengan murid yang masih tertinggal digembleng lagi hingga mampu mengikuti siswa lain yang telah menguasai materi.
Soal dalam ujian semester pun ia buat berbeda, yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Dalam satu kelas yang terdiri dari sembian anak bisa saja Yustina memakai tiga soal yang berbeda.
Metoda Lampu
Salah satu kegiatan ekstra kurikuler yang dikembang di sekolah tuna rungu terbesar di Indonesia ini adalah menari. Murdani punya cara tersendiri melatih siswanya yang memiliki gangguan pendengaran ataupun berbicara belajar menari.
Selain menggunaan isyarat tangan, ia juga memanfaatkan vibrasi dari suara gong dan alat musik lainnya. ”Saat latihan kami gunakan lampu sebagai pertanda bahwa gerak tarian harus dipercepat,” ungkap ibu tiga anak ini.
Berkat ketekunan dan kesabaran berlatih, meski cacat siswa-siswinya sering diundang di berbagai acara di hotel bintang lima. ”Anak kami juga pernah mendapat juara I Lomba tari Sekar Jagat Tingkat Nasional yang digelar Rotari Club,” tambah Murdani.
Siswa di SLB B N PTN Bali tak hanya belajar materi akademik. Namun di tempat ini juga diberikan berbagai keterampilan seperti komputer, otomotif, pertukangan kayu, keramik, elektronik, busana, akupresur, spa, salon kecantikan, layang-layang, hantaran dan merangkai bunga, boga.
”Masing-masing bidang kami sediakan tempat praktik atau workshop,” ujarnya. Berkat ketekunan dan latihan, kini siswa-siswi alumnus SLB B N PTN banyak yang telah bekerja di hotel berbintang,” ujarnya.
Tinggal di Asrama
Sebagian besar siswa di centra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) ini berasal dari daerah luar Badung. Jarak yang cukup jauh ini membuat mereka harus tinggal di asrama. ”Kapasitas asrama yang hanya menampung 100 orang kini dihuni lebih dari 100 siswa,” ujar Murdani.
Banyak hal yang didapat siswa ketika tinggal di asrama. Selain mengajarkan disiplin, asrama mampu menjadi ruang terbaik bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lain.
”Semua anak yang tinggal diasrama memiliki tugas masing-masing yang harus dikerjakan. Misalnya memasak, menyapu, cuci piring kami bagi tugas-tugas tersebut,” ujarnya.
Malam hari, ruang makan yang hanya bisa menampung 100 siswa itu dipakai ruang belajar bersama. ”Karena kekurangan tempat duduk terpaksa meja tenis meja kami pakai sebagai tempat belajar,” ujarnya.
Di ruangan itu, malam hari tiap hari Senin- Jumat ramai siswa dari jenjang TK- SMA belajar bersama dengan dipandu empat atau lima orang guru.
Berbagai upaya telah dilakukan sekolah guna merangsang perkembangan pendengaran anak didiknya. Sampai kini, menurut Murdani berbagai kerjasa telah ia lakukan dengan pihak swasta misalnya dengan adanya bantuan alat bantu mendengar, metoda akupuntur dari salah satu orangtua murid pun ia terima.
”Kini selain menggunakan alat bantu dengar bagi siswa yang memiliki sisa pendengaran kurang dari 100 db juga diberikan pengobatan dengan metode akupuntur,” ujar Murdani. —lik
Suasana kelas yang ramai karena suara siswa yang sedang belajar menirukan Yustina berbicara membuat proses belajar-mengajar terlihat hidup. ”Kami tekankan agar selama proses belajar-mengajar lebih menggunakan sistem oral dibanding isyarat.
Hal ini bertujuan melatih dan merangsang siswa untuk bisa berbicara meski belum terdengar jelas,” ujar kepala Sekolah Luar Biasa Bagian B Negeri Pembina Tingkat Nasional (SLB B N PTN) Bali Dra. Made Murdani, M.Pd.
Yustina mengaku, tak mudah mengajarkan anak didik yang mengalami gangguan pendengaran. Tetapi wanita berkulit sawo matang ini tak pantang menyerah. Ia tak pernah berhenti memacu dan mengajak anak didiknya belajar berbicara baik lewat proses belajar-mengajar sehari-hari atau melalui matari bina wicara.
”Meski tak jelas suaranya, asal gerak bibir atau mimik mereka berbicara sudah benar, itu saya anggap anak telah mengalami kemajuan,” ujarnya. Yustina mengaku mengedepankan pelatihan berbicara mampu mendukung siswa agar bisa berkomunikasi saat berhubungan dengan masyarakat luar.
Siswa kelas satu yang usianya rata-rata sudah mencapai 10 tahun atau lebih tua dari usia anak kelas satu di SD umum ini masih diajarkan materi membaca, menulis dan berhitung. Untuk mempermudah, Yustina menggunakan gambar sebagai alat peraga saat menerangkan.
”Siswa tahu nama benda, tetapi terkadang tak bisa menyebutkan huruf apa saja yang merangkai kata pada benda tersebut. Selain gambar, kami juga ajak siswa mengenal huruf meski terkadang dalam menyebutkannya masih menggunakan isyarat tangan,” ungkap wanita asal Jogjakarta ini.
Alat peraga di SLB B N PTN Bali terlihat berbeda dibanding sekolah umum. Masing-masing ruang kelas dilengkapi dengan sebuah cermin. ”Cermin memudahkan guru memberikan materi bina wicara,” ujarnya. Tak hanya itu, ruang kelas TK dan SD juga dilengkapi dengan hearing group.
”Tapi kini telah rusak karena ulah jahil anak-anak,” ujar Murdani. Padahal menurutnya dengan hearing group bisa mempermudah dan merangsang siswa belajar berbicara.
Kendala yang dialami dalam PBM menurut Yustina tak hanya karena siswa-siswinya mengalami kekurangan di pendengaran dan wicara.
Namun juga tak adanya buku penunjang khusus anak-anak tuna rungu. ”Selama ini karena tak ada buku penunjang, kami gunakan buku sekolah umum yang lebih sulit penerapannya,” ujarnya.
Proses penerimaan siswa baru di SLB N dilakukan dengan cara mengetes pendengaran anak dengan menggunakan alat audimeter. ”Dulu kami masih menggunakan alat manual berupa bunyi-bunyian, tetapi kini sudah ada alat yang lebih canggih,” ujarnya. Tahap ini, lajut Murdani berfungsi untuk mengetahui frekuensi sisa pendengaran siswanya.
Karena hal itu berpengaruh terhadap proses belajar-mengajar yang akan mereka tempuh. ”Tempat duduk di jenjang TK dan SD kami buat menyerupai bentuk U. Posisi duduk tergantung dari tes yang telah dilakukan. Jika telinga kanan masih ada sisa pendengaran kami posisikan anak duduk di sebelah kiri,” ujar Murdani.
Cara mengajar di sekolah khusus tuna rungu ini lebih diutamakan pembelajaran secara individu. Artinya, tambah Yustina, bagi siswa yang telah menguasai materi pembelajaran akan diberikan tugas, berbeda dengan murid yang masih tertinggal digembleng lagi hingga mampu mengikuti siswa lain yang telah menguasai materi.
Soal dalam ujian semester pun ia buat berbeda, yang disesuaikan dengan kemampuan anak. Dalam satu kelas yang terdiri dari sembian anak bisa saja Yustina memakai tiga soal yang berbeda.
Metoda Lampu
Salah satu kegiatan ekstra kurikuler yang dikembang di sekolah tuna rungu terbesar di Indonesia ini adalah menari. Murdani punya cara tersendiri melatih siswanya yang memiliki gangguan pendengaran ataupun berbicara belajar menari.
Selain menggunaan isyarat tangan, ia juga memanfaatkan vibrasi dari suara gong dan alat musik lainnya. ”Saat latihan kami gunakan lampu sebagai pertanda bahwa gerak tarian harus dipercepat,” ungkap ibu tiga anak ini.
Berkat ketekunan dan kesabaran berlatih, meski cacat siswa-siswinya sering diundang di berbagai acara di hotel bintang lima. ”Anak kami juga pernah mendapat juara I Lomba tari Sekar Jagat Tingkat Nasional yang digelar Rotari Club,” tambah Murdani.
Siswa di SLB B N PTN Bali tak hanya belajar materi akademik. Namun di tempat ini juga diberikan berbagai keterampilan seperti komputer, otomotif, pertukangan kayu, keramik, elektronik, busana, akupresur, spa, salon kecantikan, layang-layang, hantaran dan merangkai bunga, boga.
”Masing-masing bidang kami sediakan tempat praktik atau workshop,” ujarnya. Berkat ketekunan dan latihan, kini siswa-siswi alumnus SLB B N PTN banyak yang telah bekerja di hotel berbintang,” ujarnya.
Tinggal di Asrama
Sebagian besar siswa di centra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PKPLK) ini berasal dari daerah luar Badung. Jarak yang cukup jauh ini membuat mereka harus tinggal di asrama. ”Kapasitas asrama yang hanya menampung 100 orang kini dihuni lebih dari 100 siswa,” ujar Murdani.
Banyak hal yang didapat siswa ketika tinggal di asrama. Selain mengajarkan disiplin, asrama mampu menjadi ruang terbaik bersosialisasi dan berkomunikasi satu sama lain.
”Semua anak yang tinggal diasrama memiliki tugas masing-masing yang harus dikerjakan. Misalnya memasak, menyapu, cuci piring kami bagi tugas-tugas tersebut,” ujarnya.
Malam hari, ruang makan yang hanya bisa menampung 100 siswa itu dipakai ruang belajar bersama. ”Karena kekurangan tempat duduk terpaksa meja tenis meja kami pakai sebagai tempat belajar,” ujarnya.
Di ruangan itu, malam hari tiap hari Senin- Jumat ramai siswa dari jenjang TK- SMA belajar bersama dengan dipandu empat atau lima orang guru.
Berbagai upaya telah dilakukan sekolah guna merangsang perkembangan pendengaran anak didiknya. Sampai kini, menurut Murdani berbagai kerjasa telah ia lakukan dengan pihak swasta misalnya dengan adanya bantuan alat bantu mendengar, metoda akupuntur dari salah satu orangtua murid pun ia terima.
”Kini selain menggunakan alat bantu dengar bagi siswa yang memiliki sisa pendengaran kurang dari 100 db juga diberikan pengobatan dengan metode akupuntur,” ujar Murdani. —lik